Minggu, 09 September 2012

Mengupas kisah PRABU KIAN SANTANG




Hikayat Prabu Kian Santang Selengkapnya ....

Kian Santang adalah tokoh tasawuf dari tanah pasundan yang ceritanya melegenda khususnya di hati masarakat pasundan dan kaum tasawuf ditanah air pada umumnya. Tokoh kian-santang ini pertama kali berhembus dan dikisahkan oleh raden CAKRABUANA atau pangeran walangsungsang ketika menyebarkan islam di tanah cirebon dan pasundan. Pangeran cakrabuana adalah anak dari prabu sili-wangi atau jaya dewata raja pajajaran, yang dilahirkan dari permaisuri ketiga yang bernama nyi subang larang, subang-larang sendiri murid dari mubaliq kondang yaitu syeh maulana-hasanudin atau terkenal dengan syeh kuro krawang.

Sejarah 'Disebut' atau di panggil "Kian San Tang"



Mulanya yaitu, ketika raden walangsungsang memilih untuk pergi meninggalkan galuh pakuan atau pajajaran, yang di sibebabkan oleh keberbedaan haluan dengan keyakinan ayahnya yang memeluk agama “shangyang”, pada waktu itu. diriwayatkan beliau berkelana mensyi’arkan islam bersama adiknya yaitu rara santang (ibu dari syarif hidayatullah atau “sunan gunung jati”) dengan membuka perkampungan di pesisir utara yang menjadi cikal-bakal kerajaan caruban atau kasunanan cirebon yang sekarang adalah “kota madya cirebon”.








Silsilah prabu Kian Santang

Legenda kian-santang sendiri diambil dari sebuah kisah nyata, dari tanah pasundan tempo dulu yang ceritanya pada waktu itu tersimpan rapi berbentuk buku di perpustakaan kerajaan pajajaran. Karena pajajaran adalah hasil penyatuan dua kerajaan antara galuh dan kerajaan sunda pura yang dimana kerajaan galuh dan sundapura adalah dua kerajaan pecahan dari taruma negara, yang di masa prabu PURNA-WARMAN yaitu raja ketiga dari kerajaan taruma negara yang di pecah menjadi dua yaitu tarumanegara yang berganti sundapura dan ibukota lama menjadi galuh pakuan. Dan jaya dewata menyatukan kembali dua pecahan kerajaan taruma negara menjadi pajajaran.

Silsilah prabu Kian Santang
Di mana di kisahkan pada waktu itu yaitu abad ke 4m atau tahun 450 pernah terdapat putra mahkota yang sakti mandraguna bernama GAGAK LUMAYUNG yang dalam ceritanya “di tataran suda dan sekitarnya ,tak ada yang mampu mengalahkan ilmu kesaktiannya. hingga suatu saat datang pasukan dari dinasti TANG yang hendak menaklukkan kerajaan tarumanegara. namun berkat gagak lumayung, pasukan TANG dapat di halau dan tunggang-langgang meninggalkan taruma negara.

Semenjak itu raden gagak lumayung di beri sebutan ”KI AN SAN TANG” atau ”penakluk pasukan tang” Di ceritakan sang kiansantang ini karena saking saktinya hingga dia rindu kepingin melihat darahnya sendiri. Hingga sampailah di suatu ketika sa’at dia mendapat wangsit di tapabratanya bahwah di tanah arab terdapat orang sakti mandraguna.









Kisah Asal Mula Kian Santang Masuk Islam

Konon: dengan ajian napak sancangnya raden kian santang mampu mengarungi lautan dengan berkuda saja. “Di mana dalam ceritanya ketika sampai di pesisir beliau bertemu seorang kakek ,dan padanya dia minta untuk di tunjukan di mana orang sakti yang kian santang maksud tersebut”. Dan dengan senang hati si-kakek tersebut menyanggupinya dan sementara dia mengajak beliau “kiansantang” untuk mampir dulu ke rumahnya.
Al-kisah setelah sampai di rumahnya tongkat dari sang kakek tersebut tertinggal di pesisir dan minta kian santang untuk mengambilkanya ,konon dikisahkan si-kian santang tak mampu mencabutnya sampai tanganya berdarah-darah ,disitulah kian santang baru sadar kalau kakek itu adalah orang yang di carinya. Dan akhirnya dengan membaca kalimah syahadat yang di ajarkan sang kakek tadi “yang akhirnya menjadi guru spiritualnya” tongkat tersebut dapat di cabut .

Cerita tersebut membumi sekali sampai saat sekarang. Dan yang aneh, kebanyakan orang menduga kalau kian santang itu adalah raden walang sungsang. Padahal banyak sekali cerita yang sepadan dengan kisah raden walang sungsang tersebut. Yang sesungguhnya dialah yang mengisahkan justru dialah yang di kira pelaku (raden walang sungsang atau pangeran cakrabuana) sebagai tokoh yang diceritakan itu. Tujuannya adalah hanya sebagai media dakwah dan penyebaran islam di bumi cirbon dan sekitarnya. Sehingga sampai sekarang banyak kalangan yang menyangka raden walangsungsang adalah kian santang bahkan ada yang menafikan kian santang adalah adik cakrabuana dan kakak dari rara santang.

Al Qur’an –Prabu Kian Santang
Raden walangsungsang mengambil cerita ini dari perpustakaan kerajaan pajajaran dengan pertimbangan karena kisah itu mirip dengan kisahnya, Yang di mana kian santang setelah pulang dari arab dia ingin meng-islamkan ayahnya prabu purnawarman namun di tolaknya dan kian santang memilih meninggalkan istana dan tahtanya di berikan adiknya yaitu darmayawarman. Begitu pula raden walang sungsang yang pernah merantau ke arab dan meningkahkan adiknya rara santang yang di ambil istri oleh putra kerajaan mesir waktu itu dan pernikahan berlangsum di mesir yang dari perkawinan inilah nanti akan lahirlah raden syarif hidayatullah atau sunan gunung jati.

Keinginan Walangsungsang untuk meng-islamkan prabu siliwangi ditolak mentah-mentah dan ayahnya tidak ingin bertarung dengan anaknya maka dia memilih mensucikan diri atau bertapa, konon beliau menjelma macan putih. Pengambilan kisah penokohan dalam sebuah ceritra seperti ini sebenarnya pernah pula terjadi pada era sebelum raden walang sungsang yang tepatnya dilakukan oleh raja jaya-baya (raja islam pertama di tanah jawa) dari kerajaan panjalu atau kediri, di mana suaktu masih di pegang raja airlangga kerajaan tersebut bernama kerajaan KAHURIPAN dan karena kedua anaknya semua meminta tahta maka kahuripan di bagi dua yaitu panjalu dan jenggala. Sepanjang perkembangan dua kerajaan tersebut selalu bermusuhan dan pada masa kerajaan panjalu dirajai oleh jaya baya, panjalu mampu menaklukkan jenggala dan di satukan lagi antara jenggala dan panjalu.

Pada waktu panjalu menaklukkan jenggala rajanya jaya-baya meminta empu sedha dan empu panuluh untuk mengutip naskah dari india yang judulnya maha barata. namun di ferifikasi dengan gaya jawa. Sebagai perlambang atas kemenangan perang saudara panjalu atas jenggala. Yang akhirnya kitab tersebut di beri judul barata-yuda. Dan dalam kisah klasik jawa ini banyak kalangan masarakat yang mengira bahwa jaya baya adalah kelanjutan dari trah barata yaitu cicit dari parikesit putra abimanyu.

Juga kisah lainnya yang serupa pernah pula hadir kemasarakat yang tujuannya waktu itu sebagai media dakwah untuk melindungi rongrongan ajaran syariat terhadap kaum sufi.maka ketika bergerak menyebarkan islam WALI SONGO menurt banyak kalangan membuat cerita al-halaq fersi indonesia yaitu syeh siti jenar. Yang menurut Doktor Simon dari UGM Yogja berdasarkan temuannya karya-karya besar berupa naskah suluk dari sunan kali jaga dan lain sebagainya. Dapat di pastikan tokoh siti jenar adalah imajener hanya untuk media dakwah dan melindungi islam agar tetap pada ajaran ahlusunah wa jamaah.
Dan sampai saat ini pendapat itu masih simpang siur dan menjadi perdebatan dan polemik panjang oleh para ahli sejarah di tanah air.

Versi lain dari Kisah Kian Santang masuk Agama Islam
Waliyullah yang berarti kekasih Allah, memang tersebar dimana-mana. Tak terkecuali pula di Jawa Barat yang sebagian besar penduduknya bersuku Sunda. Di beberapa tempat di Jawa Barat, sebenarnya banyak makam yang ramai diziarahi, terutama pada waktu-waktu tertentu. Salah satunya adalah makam Sunan Rahmat Suci yang berdiri di sebuah bukit di wilayah Garut. Menurut keterangan juru kunci makam ini, Sunan Rahmat Suci adalah wali yang masih keturunan Pajajaran.
Seperti diketahui, Pajajaran merupakan kerajaan Hindu terbesar di Jawa Barat. Tidak begitu jelas siapa pendiri dan kapan berdirinya. Namun lokasinya diketahui di Bogor sekarang. Raja-raja yang pernah berkuasa di antaranya, adalah: Prabu Lingga Raja Kencana, Prabu Wastu Kencana, dan Prabu Siliwangi.
Di antara raja-raja tersebut yang paling termasyhur adalah Prabu Siliwangi. Raja yang terkenal amat bijaksana ini beristerikan seorang puteri bernama Dewi Kumalawangi. Dari rahim isterinya ini lahirlah tiga orang putera, yaitu: Raden Walangsungsang, Dewi Rarasantang, dan Raden Kiansantang.
Prabu Kiansantang lahir di Pajajaran tahun 1315. Dia adalah seorang pemuda yang sangat cakap. Tidaklah heran jika pada usianya yang masih muda Kiansatang diangkat menjadi Dalem Bogor kedua.
Konon, Raden Kiansantang juga sakti mandraguna. Tubuhnya kebal, tak bisa dilukai senjata jenis apapun. Auranya memancarkan wibawa seorang kesatria sejati, dan sorot matanya menggetarkan hati lawan.
Diriwayatkan, Prabu Kiansantang telah menjelajahi seluruh tanah Pasundan. Tapi, seumur hidupnya dia belum pernah bertemu dengan orang yang mampu melukai tubuhnya. Padahal dia ingin sekali melihat darahnya sendiri. Maka pada suatu hari, dia memohon pada ayahnya agar dicarikan lawan yang hebat.
Untuk memenuhi permintaan puteranya, Prabu Siliwangi mengumpulkan para ahli nujum. Dia meminta bantuan pada mereka untuk menunjukkan siapa dan dimana orang sakti yang mampu mengalahkan puteranya, Prabu Kiansantang.
Usaha tersbut hanya sia-sia saja. Tak seorangpun di antara para ahli nujum itu yang bisa menunjukkan orang yang mampu menunjukkan di mana gerangan orang yang bisa mengalahkan Raden Kiansanteng. Seluruh yang hadir di keraton hanya bingung.
Untunglah, kemudian datang seorang kakek yang bisa menunjukkan orang yang selama ini dicari. Menurut kakek tersebut, orang gagah yang bisa mengalahkan Raden Kiansantang ada di Tanah Suci Mekkah. Jauh sekali dari tanah Pasundan. Namanya Sayyidina Ali.
“Aku ingin bertemu dengannya?” Tukas Raden Kiansantang.
“Untuk bisa bertemu denganya, ada syarat yang harus raden penuhi,” ujar si kakek.
Syarat-syarat tersebut, adalah: Pertama, harus mujasmedi dahulu di ujung kulon, atau ujung Barat tanah Pasundan. Kedua, harus berganti nama menjadi Galantrang Setra Galantrang artinya berani dan Setra artinya suci. Mungkin maksudnya keberanian bertarung harus dilandasi kesucian hati.
Bukan main gembiranya Prabu Kiansantang mendengar kabar ini. Begitu pula semua yang hadir waktu itu. Suasana hening berubah menjadi cair kembali. Dua syarat yang disebutkan tidak menjadi penghalang. Dengan segera Prabu Kiansantang memakai nama baru, Galantrang Setra. Setelah itu dia pergi ke ujung kulon untuk mujasmedi agar Sang Hyang Widhi Wasa memberikan kekuatan lahir dan batin serta mempertemukan dirinya dengan orang yang disebut sebagai Sayyidina Ali.

Setelah selesai mujasmedi, Galantrang Setra meninggalkan Pajajaran menuju Tanah Mekkah dengan membawa bekal secukupnya. Hatinya tak sabar lagi ingin bertemu Sayyidina Ali. Sepanjang perjalanan dia membayangkan pertarungan hebat antara dirinya dengan orang Mekkah tersebut.
Terbesit juga dalam pikirannya bahwa akhirnya dialah yang menang. Dengan begitu maka dia akan dikenal sebagai pendekar pinunjul di seluruh jagat, bukan hanya di tanah Pasundan.

Kisah Kian Santang di Mekah
Tak dijelaskan dengan apa Galantrang Setra pergi ke tanah Arab. Yang pasti, sesampainya di tanah Mekkah, dia bertemu dengan seorang lelaki yang gagah. Badannya tegap dan suaranya berwibawa. Kepada orang itu dia bertanya, “Apakah Anda kenal dengan Sayyidina Ali?”
“Oh, kenal sekali!” Jawabnya dengan ramah.
“Bisakah Anda mengantar saya ke rumahnya?” Tanya Galantrang sekali lagi.
“Oh bisa, tentu bisa!”
Tanpa banyak basa-basi lagi, mereka berdua melangkahkan kaki menuju rumah Sayyidina Ali. Semakin jauh melangkah detak jantung Galantrang Setra terasa makin cepat. Pertarungan tidak lama lagi terjadi, pikirnya.
Baru saja beberapa puluh meter melangkah, tiba-tiba lelaki itu mengantarnya berhenti sambil menengok ke belakang.
“Galantrang, tongkatku ketinggalan. Tolong ambilkan !” Katanya.
Galantrang menolak. Pantang baginya disuruh-suruh orang. Apalagi oleh orang Mekkah yang baru dia kenal.
“Kalau kamu tidak mau mengambilkan tongkatku, maka aku tidak akan mengantarmu ke tempat Sayyidina Ali,” ancam orang Mekkah itu.
Maka terpaksa Galantrang menuruti perintahnya. Tentu saja hatinya menggerutu. Ketika sampai di tempat yang dimaksud Galantrang mencabut tongkat itu dengan tangan kiri. Dikiranya ringan, karena tertancap ditumpukan pasir. Ternyata sulit dicabut. Kemudian dia mengambilnya dengan tangan kanan. Masih juga tak bisa dicabut.
Akhirnya dengan kedua tangan. Aneh, sama sekali tongkat itu tak dapat digerakkan. Galantrang penasaran. Dicobanya sekali lagi dengan mengerahkan seluruh kekuatan lahir dan batinnya. Apa yang terjadi? Tongkat tetap tidak tercabut, malah kedua kakinya amblas terperosok ke dalam hamparan padang pasir.

Pusaka Prabu Kian Santang

Tapi, sebagai jawara dia pantang menyerah. Namun, setelah sekian lama mengerahkan seluruh tenaga dan terus menerus membaca mantera, kakinya malah makin amblas. Bahkan, keluar darah dari seluruh pori-pori tubuhnya.
Ketika itu, Galantrang tercengang melihat darahnya sendiri. Tiba-tiba orang Mekkah itu datang menghampiri. Dengan membaca Bismillahi dia mencabut tongkatnya dengan mudah. Bersamaan dengan itu, hilang pula darah di sekujur tubuh Galantrang.
Sungguh sangat menakjubkan. Galantrang kagum pada kehebatan kalimah yang dibaca si pemilik tongkat. Dia ingin sekali hafal mantera tersebut untuk menambah kesaktiannya. Jika nanti bertarung dengan Sayyidina Ali, mantera itu akan dibacakan olehnya. Pasti dia menang, pikirnya. Maka dia minta diajari membacanya. Tapi orang Arab itu menolak mengajarinya, karena Galantrang belum masuk Islam.
Mereka terus berjalan menuju rumah Sayyidina Ali. Di tengah perjalanan ada seorang bertanya, “Kenapa kamu terlambat pulang Ali?”
Mendengar nama Ali disebut, Galantrang amat terkejut. Dia tak menduga sama sekali, bahwa orang yang sedang bersamanya adalah Sayyidina Ali. Mendadak muncul pikiran, bagaimana mungkin dirinya dapat mengalahkan Sayyidin Alu, sedangkan mencabut tongkatnya saja sampai berkeringat darah.
Rasa takut dan malu bercampur jadi satu. Keberanian Galantrang hilang sirna. Seluruh ilmu kanuragan yang selama ini jadi kebanggaannya lenyap seketika. Mungkin lebih baik pulang saja, pikirnya. Tak ada gunanya berlama-lama di Mekkah. Enggan baginya bertemu lagi dengan Sayyidina Ali.
Namun ketika dalam perjalanan pulang dia bingung tak tahu jalan. Langkah kakinya tak tentu arah. Seperti ada kekuatan yang menghalanginya pulang. Di sela-sela istirahat melepas lelah, dia teringat pada mantera yang diucapkan Sayyidina Ali. Betapa hebatnya mantera itu, pikirnya.
“Kau harus masuk Islam!” Suara ini terngiang-ngiang di telinganya. Ya, dia harus masuk Islam jika ingin diajari kalimah sakti itu. Padahal, selama ini, dia menganut agama Hindu, memuja Sang Hyang Widhi Wasa. Bagaimana pula dengan ayahandanya, Prabu Siliwangi, jika tahu dia meninggalkan agama leluhurnya?
Akhirya dia memutuskan bersedia masuk Islam demi memiliki ilmu linuwih. Karena itu, dia kembali menemui Sayyidina Ali. Di sana dia dibimbing mengucapkan dua kalimah syahadat. Juga dibimbing mengucapkan basmallah, “Bismillahir rahmanir rahim”.
Selain kalimah-kalimah tadi, banyak lagi kalimah-kalimah lain yang dia hafalkan selama dia mukim di Mekkah. Konon, setelah dua puluh hari belajar agama Islam Galantrang Setra pulang ke Pajajaran.
Setibanya di Pajajaran, dia segera menghadap ayahandanya. Dia ceritakan pengalamannya di tanah Mekkah dari mulai bertemu dengan Sayyidina Ali hingga masuk Islam. Kini dia percaya kalimah Bismillah dan syahadat sangat hebat faedahnya. Karena itu dia berharap ayahandanya masuk Islam juga.
Mendengar kehebatan Sayyidina Ali, Prabu Siliwangi sangat kagum dan tidak keberatan anaknya, Raden Kiansantang, memeluk Islam jika memang dia suka. Tapi, bagi dirinya tidak mungkin meninggalkan agama Hinda yang sejak puluhan tahun dianutnya.

Betapa kecewa hati Kiansantang karena ayahnya menolak masuk Islam. Padahal menurutnya, Islam-lah agama yang benar. Dengan susah payah, dia membujuk ayahnya. Tapi tiada hasilnya. Prabu Siliwangi tetap memuja dewa. Hal ini membuatnya sadar, bahwa pengetahuannya tentang Islam masih sedikit sekali dan belum memahami cara-cara dakwah.
Akhirnya dia kembali ke Mekkah untuk belajar Islam lebih mendalam. Setelah tujuh tahun bermukim di sana, Prabu Kiansantang pulang lagi ke Pajajaran bersama dengan saudagar Arab. Saudagar itu bertujuan untuk berdagang di Pajajaran sambil membantu Kiansantang menyebarkan Islam.
Dengan bantuan para saudagar, Kiansantang menyebarkan Islam di kalangan masyarakat. Rencananya dia juga akan menyebarkan Islam di kalangan istana, terutama mengislamkan ayahandanya.

Keinginan Ayahnya Masuk Islam
Prabu Siliwangi tahu akan kegiatan dakwah anaknya dan tidak keberatan rakyatnya masuk Islam. Tapi dia sendiri tidak mau ikut-ikutan. Baginya lebih baik meninggalkan keraton dari pada menuruti bujukan anaknya. Maka ketika Prabu Kiansantang dalam perjalanan menuju keraton, dengan kesatiannya Prabu Siliwangi menyulap keraton menjadi hutan belantara. Kemudian dia dan para pengiringnya pergi meninggalkannya.
Bukan main kagetnya Kiansantang, ketika sampai di wilayah keraton Pajajaran. Tidak ada seorangpun terlihat di sana. Yang tampak baginya hanya pohon-pohon tinggi dan semak belukar. Padahal dia yakin dan tidak mungkin keliru, di sanalah keraton Pajajaran berdiri.
Tapi, mengapa tiba-tiba lenyap dan kemana ayah dan semua pengiringnya? Sungguh membingungkan!
Kiansantang bukan orang yang mudah putus asa. Dia terus mencari di mana ayahanda dan para pengiringnya bersembunyi sambil berdoa kepada Allah. Akhirnya dengan pertolonganNya, dia melihat ayahanda dan pengiringnya keluar dari hutan.
Dengan segala hormat, dia bertanya pada ayahnya, “Wahai Ayahanda, mengapa Ayahanda tinggal di hutan? Padahal Ayahanda seorang raja. Apakah pantas seorang raja tinggal di hutan? Lebih baik kita kembali ke keraton. Ananda ingin ayahanda memeluk agama yang dirihoi Allah.”
Prabu Siliwangi tidak menjawab pertanyaan puteranya. Malah dia balik bertanya, “Wahai Ananda, apa yang pantas tinggal di hutan?”
“Ayahanda, yang pantas tinggal di hutan adalah harimau!” Jawab Kiansantang.
Konon, tiba-tiba Prabu Siliwangi dan semua pengiringnya berubah wujud menjadi harimau. Kiansantang menyesali dirinya telah mengucapkan kata harimau atau maung dalam Bahasa Sunda. Ingin sekali dia mencabut kata-katanya tersebut. Tapi nasi telah menjadi bubur. Kata-katanya mustahil ditarik kembali. Kini ayahandanya dan orang-orang yang setia padanya tela berganti wujud menjadi harimau.
Walaupun Prabu Siliwangi dan para pengikutnya telah berubah menjadi harimau, namun Kian Santang masih terus berbicara dengan santun pada mereka. Karena dia menganggap, mereka bukan harimau sesungguhnya, tapi hanya maung jejadian. Tekadnya tetap bulat, ingin mengajak mereka masuk Islam.
Namun, rupanya harimau-harimau itu tidak mau menghiraukan ajakannya. Mereka lari ke daerah selatan, yang kini masuk wilayah Garut. Kiansantang berusaha mengejarnya dan menghadang jalan lari mereka. Dia ingin sekali lagi membujuk mereka. Sayang, usahanya gagal. Mereka tak mau lagi diajak bicara dan masuk kedalam goa yang kini terkenal dengan Goa Sancang, yang terletak di Leuweung Sancang, di Kabupaten Garut.
Setelah tidak berhasil mengislamkan ayahnya, Kiansantang pulang kembali ke keraton Pajajaran di Bogor. Dia biarkan ayah dan semua pengiringnya bersembunyi di Goa Sancang. Dalam perjalanan pulang, dia bertemu dengan seseorang yang katanya sedang mencari-cari dirinya.
Orang itu mengaku ingin masuk Islam. Tentu saja ini membuatnya sangat gembira. Ternyata ada orang yang dengan sukarela sudi masuk agama Allah. Maka dia pun membimbing orang asing itu mengucapkan dua kalimah syahadat.

Kiansantang mengajarkan bahwa Islam itu sangat memperhatikan kebersihan. Bahkan kebersihan itu bagian dari iman. Karena itu, seorang muslim harus selalu membersihkan dirinya, baik kebersihan lahir maupun batin. Salah satu bagian tubuh yang harus dibersihkan adalah kemaluan.
Jika kemaluan tidak bersih dari najis, maka tidak syah shalatnya. Sedangkan dzakar sulit dibersihkan karena ada kuncupnya. Supaya gampang dibersihkan, maka kuncupnya harus dibuang. Akhirnya orang yang baru masuk Islam itupun mau dikhitan.

Acara khitanan dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, tanpa resepsi dan yang mengkhitan pun Kiansantang sendiri. Mungkin karena terlalu gembira dan belum banyak pengalaman, Kiansantang gugup ketika mengkhitan, sehingga bukan hanya kuncupnya yang terpotong, tapi juga batang dzakarnya. Akibatnya orang itu mati. Mungkin karena kehabisan darah.

Prabu Kiansantang Dan Aji Suket Kalanjana
“Niat ingsun amatek ajiku si suket kalanjana, aji pengawasan soko sang hyang pramana, byar padhang jumengglang paningalingsun, sakabehing sipat podho katon saking kersaning Allah”
Aji suket kalanjana
adalah ilmu yang tercipta dari pengaruh islam dan aliran kepercayaan masyarakat jawa-sunda. Ajian ini pernah dikuasi oleh Prabu Kian Santang (putra Prabu Siliwangi) dan Syeh Siti Jenar. Ajian ini merupakan ilmu yang sangat tinggi dan untuk mendapatkannya pun tidak mudah karena harus punya niat yang baik dan tekad yang membaja. Konon ajian ini merupakan ajian yang langka dikuasai orang. Ia termasuk tingkatan paling tinggi diantara ilmu kejawen lainnya. Namun begitu, mereka yang menginginkan ajian ini bisa saja mendapatkannya tentu dengan laku tirakat dan tahu kunci amalan rahasianya.
Ajian ini awalnya merupakan ilmu terawangan alam gaib, dan kemudian berkembang sebagai ilmu yang dapat digunakan untuk meraga sukma dan menggerakan benda tanpa menyentuh (telekinetik). Intinya berfungsi mengaktifkan seluruh panca indera. Bereaksi terhadap gejala alam, baik alam sadar maupun alam mimpi. Versi para guru spiritual yang menguasainya menyebut ajian ini merupakan ilmu yang didasarkan pada gerakan rumput tertiup angin. Ia bisa bergerak kemana saja, tapi tetap pada tempatnya semula. Artinya, orang yang menguasai ilmu ini bisa memasuki dimensi gaib atau berada di alam lain tapi jasadnya tetap pada tempatnya.
Adapun legenda ajian suket kalanjana ini terdapat berbagai versi. Diyakini ajian ini sudah adal sebelum islam masuk ke tanah jawa. Sumber kontroversinya mengatakan ajian ini ada ketika islam masuk ke tanah pasundan. Tepatnya pada pemerintahan Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran. Dan konon, dari sinilah ajian ini bermula.
Pada masa itu memang pengaruh islam di kerajaan pajajaran belum meluas, sehingga ilmu-ilmu kesaktian para pendekan jaman pajajaran merupakan ilmu yang tiada banding dan banyak jenisnya. Ada yang mampu terbang, menghilang dan lain lain.

Mitos yang berkaitan dengan kegaiban pun terbukti. Misal, sampai kini makam prabu siliwangi tidak pernah ditemukan. Itu sebabnya masyarakat pasundan mempercayai bahwa prabu siliwangi moksa (menghilang) dari bumi dan berubah wujud menjadi harimau. Hal ini bisa dilacak dari cerita rakyat garut. Konon prabu siliwangi tidak mau masuk islam. Ia lebih baik keluar dari keraton daripada mengikuti ajakan prabu kean santang, anaknya untuk masuk agama islam.

Prabu siliwangi akhirnya lari menuju hutan sancang. Maka untuk menjaga hal-hal yang akan terjadi prabu kean santang membendung larinya prabu siliwangi beserta pengikutnya yang telah menjadi harimau. Dan harimau jejadian itu kemudian digiring menuju sebuah gua di pantai selatan kawasan hutan sancang, garut selatan. Ketika itulah prabu kean santang mengerahkan aji suket kalanjana dan berhasil mengalahkan ayahnya yang juga terkenal sakti itu. Kemudian prabu siliwangiakhirnya mendapat hidayah dari Allah dan masuk islam.

Namun sampai sekarang ilmu sakti ini mengalami perkembangan seiring banyaknya minat kalangan keraton pajajaran menuntut ilmu. Dan prabu kean santang adalah orang yang paling suka mempelajari segala macam ilmu agama, kesatriaan maupun ilmu gaib.
Menurut versi lain, aji suket kalanjana juga dimiliki oleh syeh dari tanah jawa. Dari syeh inilah ajian diturunkan kepada murid-muridnya. Syeh ini dikenal dengan sebuatn syeh lemah abang alias syeh siti jenar. Pada masa mudanya, siti jenar juga mendalami ilmu kebatinan. Setelah mendalami bidang agama melalui Syarif Hidayatullah atau sunan gunung jati, semakin bertambah tinggilah ilmu kesaktiannya. Tidak heran jiak banyak pemuda berguru kepada syeh siti jenar.

Ajian suket kalanjana dapat dikuasai siapa saja sepanjang orang tersebut mampu mensucikan dirinya dan mampu melakoni apa yang dipersyaratkan, antara lain harus mampu menjalani puasa 40 hari dan makan hanya boleh dilakukan jam 12 malam. Selain itu juga harus ngrowot (hanya makan umbi-umbian) dan tidak boleh makan jenis lainnya selama 40 hari. Hal lain yang harus dilakukan adalah menjalankan tapa kungkum (berendam) di dalam suangi selama 7 malam berturu-turut, dan yang paling berat harus pati geni yaitu tidak makan,minum,tidur dan bersemedi di ruang gelap selama 7 hari 7 malam. Selama ritual itu pula harus membaca mantra khusus yang harus dihapalnya. Bila ingin melihat alam gaib, mantra ini dibaca tiga kali sambil membuka telapak tangan lalu diusap ke mata.

Untuk memiliki ajian ini maka harus menjalani laku yang berat yaitu puasa 40 hari, patigeni sehari semalam mulai hari Kamis Kliwon. Mantra dibaca setiap jam 12 malam selama menjalani puasa dan patigeni.

Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang; 
Tiga Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah Pasundan

BERBICARA tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut. Menurut sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.

Sumber-sumber Sejarah
SEBENARNYA banyak sumber sejarah yang belum tergali mengenai bagaimana proses penyebaran Islam (Islamisasi) di tanah Pasundan. Sumber-sumber tersebut berkisar pada sumber lisan, tulisan, dan artefak (bentuk fisik). Sumber lisan yang terdapat di tanah Pasundan tersebar dalam cerita rakyat yang berlangsung secara turun temurun, misalnya tentang cerita “Kian Santang bertemu dengan Sayyidina Ali” atau cerita tentang “Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi Maung Bodas” dan lainnya. Begitu pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini msaih banyak yang belum disentuh oleh para ahli sejarah atau filolog. Naskah-naskah tersebut berada di Museum Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan dan Kanoman, Museum Geusan Ulun, dan di daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Barat dan Banten, seperti di daerah Garut dan Ciamis. Di antara naskah yang terpenting yang dapat dijadikan rujukan awal adalah naskah Babad Cirebon, naskah Wangsakerta, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan.

Selain faktor yang telah disebutkan, terdapat juga faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan munculnya keraguan terhadap ketiga tokoh tersebut. Di antaranya seperti kesalahan pengambilan sumber yang hanya mengambil sumber asing seperti catatan orang Portugis atau Belanda; atau juga disebabkan sering banyaknya mitos yang dijumpai para penulis sejarah dalam beberapa sumber lokal. Kondisi seperti ini sangat membingungkan dan meragukan setiap orang yang ingin mencoba merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di tanah Pasundan tersebut.

Dengan berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka tulisan ini akan mencoba mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan, fungsi, dan peran ketiga tokoh itu dalam proses Islamisasi di tanah Pasundan. Dengan demikian diharapkan tulisan ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap khazanah sejarah kebudayaan Islam-Sunda yang sampai saat ini dirasakan masih kurang. Selain itu diharapkan juga dapat memberikan informasi awal bagi para peminat dan peneliti tentang sejarah Islam di tanah Pasundan.

Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah yang meragukan keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada mereka. Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah nasional disebutkan bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari dua aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).

Tokoh Cakrabuana
BERDASARKAN sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang, sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.

Cakrabuana (atau nama lain Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian Santang merupakan anak Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa Niskala. Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih dipegang oleh kakak ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.

Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyai Subang Larang telah memeluk Islam dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Siddiq, ulama terkenal di negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian Selatan). Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama armada ekspedisi Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti Ming pada tahun 1405 M. Di karawang ia mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok Quro. Oleh karena itu ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.

Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu muncul pondok pesantren di Amparan Jati daerah Gunung Jati (Syeikh Nurul Jati). Setelah Syeikh Nurul Jati meninggal dunia, pondok pesantren Amparan Jati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi, seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah.
Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga pesantren terus dilanjutkan oleh anak keturunannya, di antaranya adalah Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa, cicitnya. Dalam sumber lisan, Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong, salah seorang yang termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman, 1995:13-14).

Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah, maka Cakrabuana yang pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya Nyai Lara Santang memiliki niat untuk menganut agama ibunya daripada agama ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan untuk tidak tetap tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan bahwa Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyai Lara Santang pernah meminta izin kepada ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja bawahan di Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang akhirnya meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan Islam.

Selama berkelana mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang menggunakan nama samaran yaitu Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyai Mas Lara Santang berguru kepada Syeikh Datuk Kahfi (Syeikh Idhopi).
Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang Alang membuka pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru itu diberi nama Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari kata atau bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk dijadikan bahan terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh Walangsungsang dengan gelar Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.
Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir Cirebon) telah menjadi kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Agama yang dianut seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah Islam.

Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah) kemudian ia mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (Jala artinya air; grahaartinya rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini masih terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (padukuhan; Sunda) baru di pesisir Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Ketika di Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa (sultan) kota Mesir pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara geneologis, merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. generasi ke-17.

Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas kecantikan dan keelokan Nyai Mas Lara Santang. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyai Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Selanjutnya, Nyai Mas Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi mukimin selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki.

Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon, kakeknya dari pihak ibu yang bernama Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa meninggal dunia di Singapura (Mertasinga). Yang menjadi pewaris tahta kakeknya itu adalah pangeran Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan kakeknya di Singapura (Mertasinga). Ia membawa harta warisannya ke pemukiman pesisir Cirebon. Dengan modal harta warisan tersebut, pangeran Cakrabuana membangun sebuah keraton bercorak Islam di Cirebon Pesisir. Keraton tersebut diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan berdirinya Keraton Pakungwatiberarti berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran.

Kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut diberi namaNagara Agung Pakungwati Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara Gheng Pakungwati Cirebon.
Mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik (ngistrénan; Sunda) pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana.Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini jelaslah bahwa Prabu Siliwangi tidak anti Islam. Ia justeru bersikap rasika dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang dan Kian Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.

Tokoh Syarif Hidayatullah

SEPERTI telah diuraikan di atas bahwa ketika selesai menunaikan ibadah haji, Nyi Mas Larasantang dinikahkan oleh kakaknya (Walangsungsang) dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa kota Mesir dari klan al-Ayyubi dari dinasti Mamluk. Ia adalah putera dari Nurul Alim atau Ali Burul Alim yang mempunyai dua saudara, yaitu Barkat Zainal Abidin (buyut Fadhilah Khan, Faletehan) dan Ibrahim Zainal Akbar, yaitu ayah dari Ali Rahmatullah atau raden Rahmat atau Sunan Ampel (Yuyus Suherman, 1995:14). Nurul Alim, Barkat Zainal Abidin, dan Ibrahim Zainal Akbar merupakan keturunan Rasulullah saw. Nurul Alim menikah dengan puteri penguasa Mesir (wali kota), karena itulah Syarif Abdullah (puteranya) menjadi penguasa (wali kota) Mesir pada masa dinasti Mamluk. Hasil pernikahan antara Syarif Abdullah dengan Nyi Mas Larasantang melahirkan dua putera yaitu, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang lahir di Mekkah pada tahun 1448 dan Syarif Nurullah yang lahir di Mesir.

Syarif Hidayatullah muda berguru agama kepada beberapa ulama terkenal saat itu. Di antaranya ia berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di Mekkah dan Syeikh Athaillah, seorang penganut terekat Sadziliyyah dan pengarang kitab tasawuf, al-Hikam, masing-masing selama dua tahun. Setelah merasa cukup pengetahuan agamanya, ia memohon kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung kepada kakak ibunya (Pangeran Cakrabuana) di Cirebon yang pada waktu itu menduduki tahta kerajaan Islam Pakungwati.

Selama di perjalanan menujuk kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon, Syarif Hidayatullah menyempatkan diri untuk singgah di beberapa tempat yang dilaluinya. Di Gujarat India, ia singgah selama tiga bulan dan sempat menyebarkan Islam di tempat itu. Di Gujarat ia mempunyai murid, yaitu Dipati Keling beserta 98 anak buahnya. Bersama Dipati Keling dan pengikutnya, ia meneruskan perjalanannya menuju tanah Jawa. Ia pun sempat singgah di Samudera Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal selama dua tahun untuk menyebarkan Islam bersama saudaranya Syeikh Sayyid Ishak. Di Banten ia sempat berjumpa dengan Sayyid Rakhmatullah (Ali Rakhmatullah atau Syeikh Rahmat, atau Sunan Ampel) yang sedang giatnya menyebarkan Islam di sana.

Sesampainya di Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan agama Islam bersama Syeikh Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu, Pakungwati masih merupakan wilayah kerajaan Galuh dengan rajanya adalah Prabu Jaya Dewata, yang tiada lain adalah kakek dari Syarif Hidayatullah dan ayah dari Nyi Mas Larasantang. Oleh karena itu, Prabu Jaya Dewata tidak merasa khawatir dengan perkembangan Islam di Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan diangkat menjadi guru agama Islam di Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun diangkat semacam “kepala” di Cirebon. Syarif Hidayatullah giat mengadakan dakwah dan menyebarkan Islam ke arah selatan menuju dayeuh (puseur kota) Galuh. Prabu Jaya Dewata mulai gelisah, kemudian ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Pakuan Pajajaran yang terletak di wilayah kerajaan Sunda dengan rajanya Prabu Susuktunggal, yang masih merupakan paman (ua; Sunda) dari Jaya Dewata. Tetapi karena Pabu Jaya Dewata menikah dengan Mayang Sunda, puteri Susuk Tunggal, maka perpindahan bobot kerajaan dari Galuh (Kawali Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bogor) bahkan mempersatukan kembali Galuh-Sunda yang pecah pada masa tahta Prabu Dewa Niskala, ayah Prabu Jaya Dewata. Di Pajajaran, Prabu Jaya Dewata mengganti namanya menjadi Sri Baduga Maharaja (lihat Didi Suryadi, Babad Limbangan,1977:46).

Pada tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Pakungwati mengalami puncak kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran. Sudah tentu, sikap ini mengundang kemarahan Prabu Jaya Dewata dan berusaha mengambil alih kembali Cirebon. Namun penyerangan yang dilakukan Prabu Jaya Dewata tidak berlangsung lama. Dikatakan bahwa Prabu Jaya Dewata mendapatkan nasihat dari para Purohita (pemimpin agama Hyang) yang menyatakan bahwa tidak pantas terjadi pertumpahan darah antara kakek dan cucunya. Lagi pula berdirinya Cirebon pada dasarnya merupakan atas jerih payah putera darah biruPajajaran, yaitu Pengeran Cakrabuana.

Pada tanggal 13 Desember 1521 M, Prabu Siliwangi mengundurkan diri dari tahta kerajaan Pajajaran, untuk selanjutnya menjadi petapa suci sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Sebagai penggantinya adalah Pangeran Surawisesa yang dilantik pada bukan Agustus 1522 M dengan gelar Sanghyang. PangeranSurawisesa inilah yang secara resmi melakukan perjanjian kerjasama dengan Portugis yang naskah perjanjiannya ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M, berisi tentang kerjasama di bidang perdagangan dan pertahanan. Rintisan kerja sama antara Pajajaran dan Portugis itu telah dirintis sejak Prabu Jaya Dewata masih berkuasa. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa pertama dalam sejarah diplomatik Nusantara, boleh dikatakan bahwa ia merupakan seorang raja dari Nusantara yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik dengan orang-orang Eropa.

Perjanjian kerjasama antara Pajajaran dan Portugis itu telah menimbulkan kekhawatiran bagi kerajaan Demak dan Cirebon. Karena itulah pada tahun 1526 M, Sultan Trenggono dari Demak mengutus Fadhilah Khan (Fathailah atau Faletehan) ke Cirebon untuk sama-sama menguasai Sunda Kelapa yang pada waktu itu masih berada dalam kekuasaan Pajajaran. Strategi ini diambil agar pihak Portugis tidak dapat menduduki pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak berapa lama pad atahun 1527 M Portugis datang ke Sunda Kelapa untuk mewujudkan cita-cita mendirikan benteng di Muara Kali Ciliwung daerah bandar Sunda Kelapa. Namun pasukan Portugis dipukul mundur oleh pasukan Fadhilah Khan yang waktu itu sudah bergelar Pangeran Jayakarta.

Banyak nama yang dinisbahkan pada Pengeran terakhir ini, yaitu Pengeran Jayakarta, Fatahilah, Faletehan, Tagaril, dan Ki Bagus Pase. Penisbahan nama terakhir terhadapnya karena ia berasal dari Samudera Pasai. Ia merupakan menantu Sultan Trenggono dan Sultan Syarif Hidayatullah. Hal ini karena Faletehan selain menikah dengan Ratu Pembayun (Demak), ia juga menikah dengan Ratu Ayu atau Siti Winahon, puteri Syarif Hidayatullah, janda Pati Unus yang gugur di Malaka (Yuyus Suherman, 1995:17). Dengan menikahi putri Demak dan Cirebon, maka Faletehan memiliki kedudukan penting di lingkungan keluarga kedua keraton itu. Karena itulah, ketika Syarif Hidayatullah meninggal pada 19 September 1568 M, maka Faletehan diangkat menjadi pengganti Syarif Hidayatullah sebagai Sultan di Cirebon.

Peristiwa itu terjadi ketika Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean), putra Syarif Hidayatullah, mengundurkan diri dari tahta kerajaan Islam Cirebon. Muhammad Arifin sendiri lebih memilih menjadi penyebar Islam di tatar Sunda bagian utara dan sejak itulah ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Pasarean.
Ketika Faletehan naik tahta di Cirebon ini, saat itu, Jayakarta (Sunda Kelapa) diperintah oleh Ratu Bagus Angke, putra Muhammad Abdurrahman atau Pangeran Panjunan dari putri Banten. Namun Faletehan menduduki tahta kerajaan Cirebon dalam waktu yang tidak lama, yakni hanya berlangsung selama dua tahun, karena ia mangkat pada tahun 1570 M. Ia dimakamkan satu komplek dengan mertuanya, Syarif Hidayatullah, yakni di Astana Gunung Jati Cirebon. Ia kemudian digantikan oleh Panembahan Ratu.



Tokoh Kian Santang dalam menyebarkan agama Islam
SEBAGAIMANA halnya dengan prabu Siliwangi, Kian Santang merupakan salah satu tokoh yang dianggap misterius. Akan tetapi tokoh ini, dalam cerita lisan dan dunia persilatan (kependekaran) di wilayah Sunda, terutama di daerah Priangan, sangatlah akrab dan legendaris dengan pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam tradisi persilatan, Kian Santang terkenal dengan sebutan Gagak Lumayung. Sedangkan nama Kian Santang sendiri sangat terkenal dalam sejarah dakwah Islam di tatar Sunda bagian pedalaman.

Sampai saat ini terdapat beberapa versi mengenai tokoh sejarah yang satu ini. Bahkan tidak jarang ada juga yang meragukan tentang keberadaan tokoh ini. Alasannya adalah bahwa sumber sejarah yang akurat faktual dari tokoh ini kurang dapat dibuktikan. Sudah tentu pendapat semacam ini adalah sangat gegabah dan ceroboh serta terburu-buru dalam mengambil kesimpulannya. Jika para sejarawan mau jujur dan teliti, banyak sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan bahan penelitian lanjut mengenai tokoh ini, baik itu berupa sumber sejarah lisan, tulisan, maupun benda-benda sejarah. Salah satunya adalah patilasan Kian Santang di Godog Garut, atau Makam Kian Santang yang berada di daerah Depok Pakenjeng Garut. Kalaulah ada hal-hal yang berbau mitos, maka itu adalah merupakan tugas sejarawan untuk memilahnya, bukannya memberi generalisir yang membabi buta, seolah-olah dalam seluruh mitologi tidak ada cerita sejarah yang sebenarnya.

Sampai saat ini terdapat empat sumber sejarah (lisan dan tulisan) yang menceritakan tentang sepak terjang tokoh Kian Santang yang sangat legendaris itu. Keempat sumber itu, ialah (1) cerita rakyat, (2) sejarah Godog yang diceritakan secara turun menurun; (3) P. de Roo de la Faille; dan 4) Babad Cirebon karya P.S. Sulendraningrat. Terdapat beberapa versi cerita rakyat mengenai perjalanan dakwah Kian Santang, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang bertanding kekuatan gaib dengan Sayyidina Ali dan Prabu Kian Santang tidak mampu mencabut tongkat yang ditancapkan oleh Baginda Ali kecuali sesudah Prabu Kian Santang membaca kalimat Syahadat.

Di dalam cerita lisan lainnya, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang adalah putera raja Pajajaran yang masuk Islam. Ia pergi ke Arab, masuk Islam dan setelah kembali ia memakai nama Haji Lumajang. Cerita lainnya lagi mengatakan bahwa Prabu Kian Santang mengajar dan menyebarkan agama Islam di Pajajaran dan mempunyai banyak pengikut; dan banyak pula putra raja yang masuk Islam; bahwa Prabu Kian Santang diusir dari keraton dan tidak lagi menganut agama nenek moyangnya dan menghasut raja Pajajaran, bahwa ia akhirnya pergi ke Campa sewaktu kerajaan Pajajaran runtuh.

Dari cerita rakyat tersebut terdapat alur logis yang menunjukkan kebenaran adanya tokoh Kian Santang sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Misalnya alur cerita tentang “Haji Lumajang” atau ia pergi ke Campa ketika kerajaan Pajajaran runtuh. Atau istilah Pajajaran itu sendiri yang sesuai dengan data arkeologi dan sumber data yang lainya seperti Babad tanah Cirebon dan lainnya.

Senjata Pusaka - Prabu Kian Santang

Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan) dan dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut agama Islam. Adapun yang menjadi sahabat Kian Santang setelah mereka masuk Islam dan bersama-sama menyebarkan Islam, menurut P. de Roo de la Faille, berjumlah 11 orang, yaitu 1) Saharepen Nagele, 2) Sembah Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang Sakti (Sapi), 4) Penghulu Gusti, 5) Raden Halipah Kandang Haur, 6) Prabu Kasiringanwati atau Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7) Saharepen Agung, 8 ) Panengah, 9) Santuwan Suci, 10) Santuwan Suci Maraja, dan 11) Dalem Pangerjaya.

Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan tangan.

Pertememuan dengan Sayidina Ali
Adapun mengenai pertemuannya dengan Sayyidina Ali, boleh jadi nama tersebut bukanlah menantu Rasulullah yang meninggal pada tahun 661 M, melainkan seorang syekh (guru) tarekat tertentu atau pengajar tertentu di Mesjid al-Haram. Jika sulit dibuktikan kebenarannya, maka itulah suatu bumbu dari cerita rakyat; bukan berarti seluruh cerita itu adalah mitos, tahayul, dan tidak ada buktinya dalam realitas sejarah manusia Sunda.
Sejalan dengan cerita rakyat di atas, P. de Roo de la Faille menyebut bahwa Kian Santang sebagai Pangeran Lumajang Kudratullah atau Sunan Godog. Ia diidentifikasi sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Kesimpulan ini didasarkan pada bukti-bukti fisik berupa satu buah al-Qur’an yang ada di balubur Limbangan, sebuah skin (pisau Arab) yang berada di desa Cinunuk (distrik) Wanaraja Garut, sebuah tongkat yang berada di Darmaraja, dan satu kandaga (kanaga, peti) yang berada di Godog Karangpawitan Garut.

Dari seluruh cerita rakyat tersebut dapat disimpulkan bahwa Kian Santang merupakan salah seorang putra Pajajaran, yang berasal dari wilayah Cirebon dan merupakan seorang penyebar agama Islam di Pajajaran. Kesimpulan ini dapat dicocokkan dengan berita yang disampaikan oleh P.S. Sulendraningrat yang mengatakan bahwa pada abad ke-13, kerajaan Pajajaran membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masing diperintah oleh seorang raja. Di antaranya adalah kerajaan Sindangkasih (Majalengka) yang diperintah oleh Sri Baduga Maharaja (atau Prabu Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi). Pada waktu itu Prabu Jaya Dewata menginspeksi daerah-daerah kekuasaannya, sampailah ia di Pesantren Qura Karawang, yang pada waktu itu dipimpin oleh Syeikh Hasanuddin (ulama dari Campa) keturunan Cina. Di pesantren inilah ia bertemu dengan Subang Larang, salah seorang santri Syeikh Qura yang kelak dipersunting dan menjadi ibu dari Pangeran Walangsungsang, Ratu Lara Santang, dan Pangeran Kian Santang.

Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa Kian Santang merupakan salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan yang diperkirakan mulai menyiarkan dan menyebarkan agama Islam pada tahun 1445 di daerah pedalaman. Ia adalah anak dari Prabu Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi, raja terakhir Pajajaran. Ia berasal dari wilayah Cirebon (Sindangkasih; Majaengka), yaitu ketika bapaknya masih menjadi raja bawahan Pajajaran, ia melarikan diri dan menyebarkan Islam di wilayah Pasundan (Priangan) dan Godog, op groundgebied.Limbangan merupakan pusat penyebaran agama Islam pertama di Tatar Sunda (khususnya di wilayah Priangan). Selain di Godog pada waktu itu, sebagian kecil di pantai utara sudah ada yang menganut Islam sebagai hubungan langsung dnegan para pedagang Arab dan India.

Mula-mula Kian Santang mengislamkan raja-raja lokal, seperti Raja Galuh Pakuwon yang terletak di Limbangan, bernama Sunan Pancer (Cipancar) atau Prabu Wijayakusumah (1525-1575). Raja yang satu ini merupakan putra Sunan Hande Limasenjaya dan cucu dari Prabu Layangkusumah. Prabu Layangkusumah sendiri adalah putra Prabu Siliwangi. Dengan demikian Sunan Pancer merupakan buyut Prabu Siliwangi. Kian Santang menghadiahkan kepada Sunan Pancer satu buah al-Qur;an berkukuran besar dan sebuak sekin yang bertuliskan lafadz al-Qur’an la ikroha fiddin. Berkat Sunan Pancer ini Islam dapat berkembang luas di daerah Galuh Pakuwon, sisi kerajaan terakhir Pajajaran.
Para petinggi dan raja-raja lokal lainnya yang secara langsung diIslamkan oleh Kian Santang di antaranya, ialah (1) Santowan Suci Mareja (sahabat Kian Santang yang makamnya terletak dekat makam Kian Santang); 2) Sunan Sirapuji (Raja Panembong, Bayongbong), 3) Sunan Batuwangi yang sekarang terletak di kecamatan Singajaya (ia dihadiahi tombak oleh Kian Santang dan sekarang menjadi pusaka Sukapura dan ada di Tasikmalaya.
Melalui raja-raja lokal inilah selanjutnya Islam menyebar ke seluruh tanah Priangan. Kemudian setelah itu Islam disebarkan oleh para penyebar Islam generasi berikutnya, yaitu para sufi seperti Syeikh Jafar Sidiq (Penganut Syatariah) di Limbangan, Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah (Tanjung Singguru, Samarang, Garut), Syeikh Abdul Muhyi (penganut Syatariyah; Pamijahan, Tasikmalaya), dan para menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram seperti Pangeran Santri di Sumedang dan Arif Muhammad di Cangkuang (Garut).

.
Kian Santang Pernah menjadi Raja Pajajaran
Pada tahun 1400 M, Prabu Kiansantang diangkat menjadi raja Pajajaran menggantikan Prabu Munding Kawati (Prabu Anapakem I). Ketika itu, usianya delapan puluh lima tahun. Namun tidak lama kemudian, dia melepaskan jabatannya. Tahta kerajaan dia serahkan pada Prabu Panatayuda, putera sulung Munding Kawati.
Memang, sejak dulu Kiansantang kurang tertarik dengan jabatan dan kekuasaan. Awalnya memang dia mendalami berbagai ilmu kanuragan. Tentu saja ini ada hubungannya dengan kekuasaan. Sebab, jika ingin berkuasa waktu itu, orang harus sakti. Namun setelah bertemu dengan Sayidina Ali, dia lebih suka mendalami agama Islam dan menyebarkannya ke seluruh penjuru tanah Pasundan. Apalagi kini usianya sudah lanjut.

Petilasan Prabu Kian Santang

Seperti sufi pada umumnya, fase perjalanan hidup diakhiri dengan lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Konsentrasi pikiran hanya tertuju padaNya. Dia hindari segala perkara yang dapat memalingkan hati pada selain Yang Di Atas. Untuk itu dia memilih uzlah, menjauhi keramaian dan gemerlap kehidupan istana.

Dikisahkan, seusai serah terima jabatan, Kiansantang pergi mencari tempat sepi dengan membawa sebuah peti. Mula-mula pergi menuju Gunung Ciremai yang cukup tingig dan hawanya sangat dingin. Setelah sampai di sana, peti itu diletakkan di atas tanah. Ternyata si peti diam saja, tidak godeg (bergoyang). Ini tanda bahwa tempat itu tidak cocok untuk dihuni.
Kemudian, Kiansantang meninggalkan tempat itu dan pergi ke arah barat menuju Tasikmalaya. Sesampainya di sebuah gunung, dia letakkan lagi peti tersebut. Ternyata si peti diam juga, tidak memberi isyarat bagus. Maka tempat itu pun dia tinggalkan.

Kian Santang Wafat tahun 1419
Akhirnya, dia kembali pergi menuju arah utara, ke wilayah Garut. Ketika sampai di sebuah gunung, diletakkanlah peti petunjuk itu di atas tanah. Tiba-tiba si peti godeg alias bergoyang-goyang. Ini pertanda tempat itu baik untuk dihuni. Maka disitulah Kiansantang tinggal hingga wafatnya setelah bertafakur selama sembilan belas tahun.

Prasassti Ciburuy -Garut

Kiansantang wafat tahun 1419, dalam usia seratus enam tahun dan dimakamkan di sana. Kini tempat itu terkenal sebagai Makam Keramat Godog atau Makam Sunan Rohmat Suci. Sekitar satu kilo meter dari tempat ini berdirilah Masjid Pusaka Keramat Godog yang konon dibangun Kiansantang semasa uzlah. Dua tempat itu menjadi bukti adanya wali yang berasal dari keluarga raja Pajajaran.







Penutup;

Demikianlah sekilas mengenai uraian historis tentang Prabu Kian Santang dan perannya bersama Pangeran Cakrabuana dan Syarif Hidayatullah dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan yang sekarang menjadi tiga wialyah, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa kesimpulan dan temuan sementara yang dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.

Pertama, bahwa orang yang pertama menyebarkan Islam di daerah pesisir utara Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang atau Adipati Cakrabuana atau Ki Cakrabumi atau Ki Samadullah atau Syeikh Abdul Iman, yang mendirikan kerajaan pertama Islam Pakungwati. Ia adalah ua dari Syarif Hdiayatullah.

Lokasi Petilasan - Prabu Kian Santang
Kedua, Kian Santang merupakan anak ketiga dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang yang beragama Islam. Ia dilahirkan pada tahun 1425, dua puluh lima tahun sebelum lahir Sunan Gunung Jati dan Mualana Syarif Hidayatullah. Ia mulai menyebarkan agama Islam di Godog, Garut pada tahun 1445. Ia adalah penyebar Islam pertama di pedalaman tatar Sunda. Ia merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. Ia disebutkan berasal dari wilayah Cirebon, tepatnya dari Kerajaan Sindangkasih (Majalengka).
Ketiga, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah nama tokoh yang berbeda dengan Faletehan. Keduanya memiliki peran yang berbeda dalam usaha menyebarkan agama Islam di tanah Pasundan.

Mengenai tokoh yang disebutkan sebagai Sayidina Ali dalam cerita ini, memang sedikit kontroversial. Mengingat kejadian, apakah mungkin yang dimaksud Sayidina Ali di sini adalah Ali Bin Abi Tholib RA, khalifah keempat dalam jajaran Khulafaur Rasyidin? Ataukah yang dimaksudkan adalah tokoh Sayidina Ali yang lain, mengingat angka tahun kejadian yang terpaut sangat jauh dengan masa kehidupan Sayidina Ali Bin Abi Tholib RA? Wallahu’alam.

Daftar Pustaka
• Didi Suryadi. 1977. Babad Limbangan.
• Edi S. Ekajati. 1992. Sejarah Lokal Jawa Barat. Jakarta: Interumas Sejahtera.
• _________. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarahi). Jakarta: Pustaka Jaya.
• Hamka. 1960. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Nusantara.
• Pemerintahan Propinsi Jawa Barat. 1983. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat.
• Sulaemen Anggadiparaja. T.T. Sejarah Garut Dari Masa Ke Masa. Diktat.
• Yuyus Suherman. 1995. Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda.Bandung: Pustaka.

Edit ; wawansurya
Sumber :
http://www.affiliate-waones.com
tulisan dari: Kandjeng Pangeran Karyonagoro, 2005
http://sundaislam.wordpress.com/2008/04/04/cakrabuana-syarif-hidayatullah-
http://my.opera.com/Jiwa558/blog/show.dml/2857408

Artikel Menarik Lainnya :



2 komentar:

Apabila ada saran atau dalam posting ada kata yang kurang berkenan, saya mohon maaf. terima kasih sudah mampir di blog saya.