Selasa, 02 Oktober 2012

Four deposed President RI, How SBY?






“MENGGULINGKAN REZIM GAGAL YANG SEDANG BERKUASA”. 


Itulah wacana yang tak mau sirna dari benak sejumlah kalangan masyarakat elemen bangsa Indonesia saat ini. Terkatung-katungnya kasus mega korupsi Bank Century, lalu maraknya praktek korupsi yang menyeret nama sejumlah pejabat dan anggota DPR terutama kader-kader elit Partai Demokrat, kemudian wacana kenaikan harga BBM dan Listrik yang sedang dipaksakan oleh pemerintah, dan masih banyak lagi, semua itu membuat rapor pemerintah rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dicorat-coret dengan angka merah oleh masyarakat. Sampai akhirnya timbul wacana untuk menggulingkan rezim gagal ini sebelum pemilu 2014. Apakah wacana ini sah secara hukum dan Undang-Undang? Jawabnya adalah: “Sah!”
Bagaimanakah prosedur konstitusional pemakzulan seorang presiden Indonesia?
Wakil Ketua MPR-RI dari fraksi PPP, Lukman Hakim Syaifuddin, pernah mengungkapkan bahwa tahap awal urusan pemakzulan atau prosedur impeachment seorang presiden sepenuhnya menjadi urusan DPR. “Apa yang mau disiapkan MPR, ini berpulang ke konstituen tergantung DPR apakah Presiden melakukan pelanggaran hukum,” demikian yang pernah dikatakan Lukman saat ditanya oleh wartawan pada acara ‘Pers Gathering’ di Belitung, (12/11/2011) sekitar empat bulan yang lalu.

Lukman menjelaskan bahwa tahapan pemakzulan presiden harus berawal dari pihak DPR. Lembaga DPR-lah yang akan melihat dan menentukan apakah Presiden melakukan atau terlibat dalam lima macam pelanggaran berat, seperti makar, korupsi, suap, tindak pidana berat dan perbuatan tercela lainnya. ”DPR berpendapat dan diuji di MK (Mahkamah Konstitusi), kalau terbukti, DPR merekomendasikan ke MPR (untuk dilaksanakan) sidang istimewa,” demikian jelasnya. Oleh karenanya MPR, kata Lukman, tidak memiliki persiapan apa-apa terkait wacana pemakzulan. “MPR itu hanya di ujung nantinya,” tandasnya.



Sejarah Penggulingan Presiden-Presiden Indonesia
Sebetulnya, tindakan penggulingan presiden dari jabatannya bukan merupakan hal baru bagi rakyat Indonesia. Karena sejak era Orde Lama (ORLA) seluruh Presiden RI praktis terdepak dari Istana dengan cara “digulingkan” (kecuali Presiden Megawati Sukarnoputri yang turun dari jabatannya secara normal karena kalah perolehan suara dalam Pilpres 2004).

Dibawah ini adalah catatan sejarah tentang cara pelepasan presiden-presiden Indonesia dari jabatannya:

Presiden RI ke-1 Alm.Presiden Sukarno : “Digulingkan” pada tahun 1966 dengan cara kudeta tak berdarah oleh kelompok militer dibawah pimpinan Mayjen. Suharto yang kemudian menggantikan Sukarno menjadi Presiden RI ke 2.

Presiden RI ke 2 Alm. Presiden Suharto : “Digulingkan” oleh aksi tekanan rakyat dan mahasiswa yang melakukan demonstrasi besar-besaran hingga menduduki atap gedung DPR pada tahun 1998. Aksi unjuk-rasa ini akhirnya berhasil memaksa Suharto untuk lengser meletakkan jabatannya sebagai presiden. Selanjutnya Suharto digantikan oleh Wapres BJ Habibie yang menjadi presiden RI ke 3.

Presiden RI ke 3 BJ Habibie : “Digulingkan secara halus” oleh DPR/MPR dengan cara Mosi Tidak Percaya dan menolak laporan pertanggung-jawabannya dalam Sidang MPR, yang akhirnya membuat Habibie kecewa dan enggan ikut dalam Pilpres. Presiden Habibie memangku jabatan hanya 18 bulan saja.

Presiden RI ke 4 Alm. Abdurrahman Wahid : ”Digulingkan dengan paksa” dari jabatannya oleh keputusan Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001, yang membuatnya terdepak dari Istana sebelum akhir masa jabatannya. Presiden Abdurrahan Wahid (Gus Dur) menduduki kursi kepresidenan hanya 2 tahun 9 bulan.
Presiden RI ke 5, Megawati Sukarnoputri : adalah satu-satunya presiden Indonesia yang turun dari jabatannya secara wajar, yakni karena kalah dalam perolehan suara saat Pilpres 2004.

Dari catatan di atas, sejarah membuktikan bahwa dari 5 Presiden RI yang terdahulu, hanya Presiden Megawati saja yang turun dari jabatannya secara wajar, sedangkan 4 Presiden RI sebelumnya dipaksa mengakhiri jabatannya dengan jalan “digulingkan” melalui berbagai macam cara, ada yang secara berterang, dan ada pula yang secara halus karena sengaja dikemas dengan bungkus konstitusi. Namun apapun namanya, yang dialami oleh Empat Presiden RI tersebut di atas adalah suatu “penggulingan”.
Sejumlah kader elit Partai Demokrat belakangan ini gemar menggunakan istilah “makar” dalam merespon berbagai pihak yang mereka tuding bermaksud menggulingkan pemerintah rezim SBY sebelum akhir masa jabatannya pada 2014.


Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Ramadhan Pohan, menuding bahwa pernyataan Ketua Umum Partai Hanura, Wiranto, di sejumlah media yang menyatakan masa kepemimpinan presiden SBY tak akan sampai 2014 dianggapnya suatu indikasi bahwa Wiranto ingin bertindak makar menggulingkan SBY.
Pohan mengatakan agar Wiranto sebaiknya bersaing secara sehat dan konstitusional. “Kita harus percaya konstitusi kita kalau sirkulasi elite itu lima tahun sekali. Pak SBY 2014 sudah tidak bisa lagi mencalonkan. Sudahlah kita selesaikan di situ, kecuali presiden melakukan kesalahan konstitusional. Jangan ada masalah sedikit bilang tidak akan sampai 2014,” ujarnya kesal.






Hal senada juga disampaikan oleh Ketua DPP Partai Demokrat Ruhut Sitompul. Menurutnya, Wiranto sebaiknya tidak menari di atas pihak-pihak yang ingin menjatuhkan SBY. Ruhut menyebut mereka yang menginginkan SBY jatuh hanyalah sampah-sampah politik. “Wiranto jangan latah. Menari di atas sampah-sampah politik. Siapa sampah pol? Mereka yang mau melengserkan SBY!” tudingnya.

Tampaknya para kader elit Partai Demokrat seperti Ramadhan Pohan dan Ruhut Sitompul lupa bahwa 4 (empat) Presiden RI juga berakhir dengan cara “digulingkan”. Hanya caranya saja yang berbeda, ada yang secara kasar dan terang-terangan seperti penggulingan Presiden Sukarno, dan ada juga yang dikemas dengan “bungkus” tertentu, semisal bungkus Sidang Istimewa MPR, bungkus Mosi Tidak Percaya, bungkus penolakan Laporan Pertanggung-jawaban, dan sebagainya agar “terlihat konstitusional”, padahal pada dasarnya sama saja bahwa itu semua adalah tindakan penggulingan presiden. Para kader Demokrat tersebut lupa bahwa Rakyat Indonesia sudah pernah menggulingkan 4 presiden, dan tindakan tersebut terbukti sah-sah saja, bahkan dicatat dalam kitab-kitab sejarah.
Penggulingan presiden dengan cara Kudeta
Bagi mereka yang sudah tak sanggup bersabar lagi menunggu datangnya pemilu 2014 dan memilih langkah penggulingan presiden diluar prosedur konstitusi, sebaiknya mencermati pendapat mantan Menhankam Pangab Jenderal (Purn) Wiranto seputar masalah Kudeta.

1] Wiranto berpendapat bahwa satu-satunya pihak yang paling sanggup melakukan kudeta terhadap pemerintah adalah pihak militer. Dalam sebuah diskusi dengan tema “Kenaikan BBM = Makar” di Gedung DPR, pada hari Kamis (8/3/2012), Wiranto membantah berbagai tudingan yang diarahkan kader Demokrat kepadanya.
“Sebenarnya yang mampu melakukan kudeta atau makar itu militer. Kenapa militer, karena organisasinya kuat, mantap, solid, disiplinnya bagus dan keberadaannya menyebar di seluruh negeri,” tutur Wiranto menjabarkan.
Dengan alasan seperti yang tersebut diatas, petinggi militer, lanjut Wiranto, jika menginginkan gerakan makar jauh lebih mudah dibandingkan organisasi lain. Upaya makar ini biasanya terjadi di negara-negara berkembang. Sebagai contoh Wiranto merujuk pada negara Thailand dan Myanmar.


Selanjutnya Wiranto mengatakan, kedudukan seorang Presiden RI cukup kuat dalam menghadapi kemungkinan kudeta “Kenapa di Indonesia tidak terjadi kudeta militer? Itulah hebatnya kita, karena Presiden kita adalah panglima tertinggi. Siapa presidennya, bagaimanapun potongannya, itu panglima tertinggi,” ujar Wiranto.

Organisasi militer di Indonesia menurut Wiranto cukup unik, karena Panglima TNI wilayahnya dibagi habis kepada para komando wilayah seperti Pangdam, Panglima Udara, Angkatan Laut, Armabar dan lain sebagainya. Sehingga Panglima TNI, menurutnya, tidak mempunyai kekuatan apa-apa, selain kekuatan komando melalui sub koordinasi. “Yang punya kekuatan langsung itu Kostrad, tetapi keberadaannya tidak di seluruh wilayah. Sehingga kalau mau melakukan itu (makar, red.) tidak mungkin, karena tidak tersebar,” paparnya.

2] Lebih lanjut lagi Wiranto menjelaskan bahwa kemungkinan makar juga bisa dilakukan oleh warga sipil yang mempunyai posisi penting dan strategis di masyarakat, seperti pemimpin partai politik atau pun organisasi masyarakat. Namun keberadaannya head to head langsung dengan pemerintah dengan mengambil sikap oposan. Dengan catatan, pemimpin ini bisa menggerakkan massa dalam jumlah yang besar secara massif dan dalam waktu yang sangat singkat. “Di Indonesia sangat tidak mungkin seorang pemimpin yang mampu mengerahkan kekuatan besar dalam waktu yang cepat, tidak bisa,” tegas Wiranto.

3] Yang ketiga, lanjut Wiranto, adanya nasional disorder atau kesemrawutan hukum. Masyarakat tanpa dikomando bergerak secara serentak seperti bola salju. Mereka bergerak karena mengindikasikan hukum tidak ditegakkan secara baik oleh pemerintah. Hukum dipandang tidak lagi dapat mengawal proses demokrasi, melainkan jadi komoditas politik.

Kalau kita mempelajari paparan Jenderal (Purn) Wiranto di atas dengan cermat dan seksama, sebetulnya mengandung dua arti, tergantung dari bagaimana orang memahaminya. Karena di satu sisi Wiranto seolah mengatakan bahwa Kudeta itu tidak mudah dengan berbagai alasan yang dikemukakannya, namun disisi lain Wiranto seolah memberikan “KUNCI” yang bisa dijadikan panduan bahwa “tindakan kudeta sangat mungkin dilakukan” asalkan pihak-pihak yang terkait mampu mengorganisir gerakannya seperti yang dipaparkan oleh Wiranto.

Misalkan, ada sebuah kelompok organisasi massa yang setelah melakukan lobi-lobi khusus akhirnya berhasil meyakinkan Panglima TNI untuk membantu kelompoknya melakukan kudeta. Kemudian Panglima TNI pun berhasil meyakinkan para Pangdam di setiap daerah untuk memobilisasi pasukan, atau, agar tidak menganggu aksi kelompok yang akan melakukan kudeta, seperti saat militer mendiamkan saja peristiwa aksi penggulingan Presiden Suharto pada tahun 1998. Kemudian kelompok ormas tersebut juga berhasil mengadakan lobi-lobi dengan kelompok-kelompok mahasiswa dan ormas-ormas lain yang sama-sama tidak puas dengan kinerja pemerintah agar bergabung dalam gerakan kudeta. Kalau hal itu dilakukan, bukankah tidak mustahil nanti pada akhirnya kelompok tersebut akan berhasil melumpuhkan pemerintah dan melakukan kudeta?

sumber ;http://kabarnet.wordpress.com

Artikel Menarik Lainnya :



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apabila ada saran atau dalam posting ada kata yang kurang berkenan, saya mohon maaf. terima kasih sudah mampir di blog saya.